Senin pagi yang cerah untuk memulai kuliah setelah tiga hari mendekam di kost. Dan akhirnya mentari pagi menampakkan wujudnya yang selama seminggu kemarin tertutup oleh kelabunya langit kota Jakarta.
Jam delapan kurang seperempat, kali ini adalah kuliah kewarganegaraan. Kuliah yang membosankan sebenarnya tapi yah mau gimana lagi. Di sini absensi adalah hal yang paling penting.
Aku mulai menyusuri jalan yang terbentang di atas lengkung biru kanopi menuju gedung D. Mata ini aku biarkan bebas menikmati kesegaran wajah–wajah penuh harapan para generasi muda dari seluruh penjuru negeri yang berjuang demi masa depan bangsa ini. Saat aku menaiki tangga masuk gedung, sepasang bola mata ini langsung menghentikan tariannya diantara hijau wangi rerumputan. kulihat punggung seorang cewek yang tak asing lagi. Berbalut jilbab coklat kesukaannya. dia duduk diberanda gedung. sendirian…..
Aku berjalan pelan menjauhinya, Semoga saja dia tak memanggilku. Tapi baru lima langkah kaki dari dirinya. Dia memanggil namaku diiringi Suara ketukan langkah sepatunya. Yang membuatku Terpaksa menghentikan langkah.
“Djay…., aku ingin ngomong sesuatu denganmu”. Kutatap sepasang mata mungil miliknya. ada sesuatu yang terpendam.
“emmm...kebetulan sekali ada yg kuomongin juga sama kamu.”
Dia langsung meraih tangan kiriku, membawa ke suatu tempat yang belum kuketahui. Kucoba untuk mengimbangi langkahnya yang menuntun keluar menuju kebagian belakang gedung. Ada sebuah bangku kosong.
Kami duduk bersebelahan. Tangannya masih erat menggenggam tanganku.
Daun-daun mulai jatuh berguguran. Sebuah pemandangan yang cocok untuk pagi yang cerah ini. Yah.., memang ini sudah saatnya pohon-pohon mulai menjatuhkan daun di dahannya karena ini awal bulan November, akhir dari musim gugur menuju musim dingin.
Terdengar jelas desah nafas miliknya, mungkin dia sedang mengatur kata yang akan terucap dari bibir tipisnya. Desir angin berhembus pelan seolah mengiringi tarian dedaunan yang jatuh ke permukaan bumi.
“Djay…., kemarin malam aku sudah putus dengan bimo”. aku langsung menatapnya. Kurasakan semakin erat genggaman tangannya, ada jeda diantara kita berdua.
Senyum kecil tergaris dari bibirku. Jiwa ini mulai menerawang jauh ke belakang mengurai memori tentang ketakutanku akan datangnya masa seperti detik ini.
Berawal dari kejadian yang terjadi setahun yang lalu, hari senin pagi awal bulan desember.
Sebuah paket kiriman kilat teronggok tepat di pintu depan tempat kost. Sebuah kardus berwarna coklat yang tertuliskan nama seorang cewek yang telah menghadirkan cinta untuk raga ini. Perpaduan antara rasa senang dan heran. Karena dia selama ini jarang memberikan sesuatu tanpa memberitahuku terlebih dahulu. Mungkin sebuah kejutan, pikirku.
Aku langsung membawanya ke dalam kamar. Perlahan aku mulai membuka kardus tersebut. Saat melihat isinya pandanganku langsung membias menatap kosong sebuah surat dan barang-barang yang sangat kukenal. Tanganku bergetar ketika perlahan mulai membuka surat tersebut.
[Djay….. maafkan atas keputusanku yang sepihak ini, tapi inilah jalan yang terbaik untuk kebaikan kita berdua. Sebaiknya kita mulai menjalani kehidupan kita masing-masing. Jalan kita berbeda. aku tidak sanggup lagi menjalani keadaan seperti ini. Sekali lagi maafkan atas keputusanku ini.
-yang akan selalu menyayangimu, Kayla-.]
Badanku lemas, diam terpaku menatap kosong kertas yang masih ada digenggaman. Kubiarkan jiwa melayang meninggalkan raga yang rapuh ini. Sesuatu mulai terasa menyerodok ingin keluar dari mata ini tapi kucoba tahan untuk tak keluar.
Kertas kulipat kembali dan kumasukkan kedalam kardus. Kurebahkan tubuh ke kasur, aku ingin bangun dari mimpi buruk ini, suara detak jarum jam terdengar jelas sekali di telinga. Kulirik jam yang ada tepat di samping.
Jam delapan lebih seperempat.
Aku harus kuliah, ada hal yang lebih penting dari cinta. Dan hal itulah yang membuatku berada di sini. Kucoba untuk bangkit berdiri tapi kurasakan raga ini memang benar-benar telah ditinggalkan oleh jiwanya. Tubuhku terbujur kaku tak berdaya.
“ayo, djay kamu adalah lelaki. Kamu harus bisa menghadapi keadaan seperti ini yang pasti akan terjadi juga cepat atau lambat. Ayo….. bangun kamu harus kuliah, ingat apa yang menyebabkan kamu ada disini”. Kurasakan ada sedikit semangat yang akhirnya dapat memaksa tubuh ini berangkat ke kampus walaupun dengan langkah terseok-seok.
Sudah seminggu lebih aku mengalami hari tergelap dalam hidupku. Teman sekostan sudah dapat memahami apa yang aku rasa tanpa bertanya. Mungkin disaat seperti inilah terasa sekali apa arti sebuah teman. Merekalah yang telah menghidupkan kembali semangat yang terkubur dalam relung raga ini. Merekalah yang menemani dikala sepi menyerang dan mengisi kekosongan yang ada.
Dan mungkin berawal dari rasa sakit ini, aku mulai mencerna salah satu nasehat dari temenku bahwa untuk mengobati rasa sakit remuknya hati ini adalah dengan hati yang baru. Yah, mungkin aku harus mulai membuka hati ini untuk yang lain.
Kuputuskan untuk memulai pencarian itu. Tapi ternyata tak mudah melakukannya jika kita hanya punya kehidupan di sekitar kampus ini. Ceweknya hanya ada 10% dari total populasi mahasiswa.
Ada banyak jalan menuju ke roma. Jangan putus asa.
Dan ternyata hal itu masih berlaku juga. Setelah dua puluh enam hari pencarian, mata ini akhirnya terusik oleh wajah mungil seorang cewek yang hampir pasti tiap hari selasa dan rabu berpapasan dengannya di lobi gedung D.
Setiap kali kumelihatnya, dia selalu memakai jilbab berwarna coklat senada dengan warna bola matanya. Dan mungkin mata miliknya itulah yang membuat mata ini betah ketika memandangnya. Wajahnya putih bersih dengan bibir tergaris indah kemerahan. Yah mungkin inilah obat dari sakit ini.
Kukumpulkan semua informasi tentang dia dari mata-mataku yang tersebar di seluruh penjuru kampus. Dan hanya dalam waktu satu minggu, kurasakan sudah ada cara yang dapat membuat diriku dikenal olehnya.
Namanya Marsha, yah nama yang indah. Anak kelas II-G akuntansi, kost di daerah pondok jaya dan yang terakhir ini yang mungkin akan membuat jalanku menjadi lebih mudah. Dia termasuk aktivis kampus dan kebetulan sekali sedang ada proyek di salah satu event besar di kampus ini. Untuk hal ini terpaksa aku harus meninggalkan ego apatisme-ku.
Langkah awal : aku harus (terpaksa) ikut interview pemilihan kepanitiaan event tersebut. Setelah membual di sesi wawancara, akhirnya aku dapat kepengurusan di bidang yang sama. Dan mulai saat itulah aku mulai dekat dengannya. Kami saling bertukar nomer ponsel dan ber-SMS-an ria.
Aku mulai dekat dengannya, tapi ternyata ada satu hal besar yang mengganjal. Ternyata dia sudah punya cowok, temen SMA-nya dulu yang sekarang kuliah di Trisakti. Tapi ‘sekali kita sudah bermain dengan api kita harus menyelesaikannya sampai akhir’-itulah filosofi yang ada dikostan. Maju terus pantang mundur, no heart-broken again. Never…
Pernah dengar pepatah jawa: “witing tresno jalaran soko kulino” rasa cinta itu bisa muncul perlahan-lahan walaupun tak pernah terlintas sedikitpun di benak kita jika kita sering bertemu. That’s my truf card in this love story. Dengan keadaan dia seperti sekarang ini aku harus memposisikan diri sebagai teman ngobrol yg membicarakan segala sesuatu khususnya yg ia sukai dan never talk about her feeling and her relationship. Aku berpikir di kampus aku mempunyai banyak waktu untuk bertemu secara langsung dengannya sedangkan dengan pacarnya minimal seminggu sekali baru bisa bertemu.
Tetapi ternyata waktu telah menyadarkanku atas kelabilan egoku. Kenapa bisa aku berpikir untuk merebut cewek orang lain? Apakah Ini hanya kepuasan belaka? Sebuah balas dendam karena aku mengalami kegagalan cinta? Memikirkannya aku jadi teringat sebuah prosa dari khalil gibran, dia berkata bahwa apabila engkau mencintai dengan berbagai tuntutan, maka sebaiknya engkau luluh bersama aliran sungai, menyanyikan lagu persembahan pada malam dengan selimut duka, karena cinta yang dipenuhi oleh nafsu hanya akan menggoreskan luka kepedihan.
Oleh karena itu pola pemikiranku berubah total, aku jadi berpikir ternyata menjalin hubungan tanpa ada perasaan cinta yang menggebu2 itu lebih menyenangkan. Aku bisa bersikap seperti aku apa adanya tanpa ada yang ditutupi, lebih bisa memendam amarah dan yang paling penting bagiku tak ada rasa cemburu yang beralasan. Itulah yang membuatku semakin nyaman dengan marsha. Mungkin hubungan semacam inilah yang sebenarnya aku butuhkan saat ini, jadi niat awalku untuk mencuri dia dari cowoknya kuurungkan.
Dan hal tersebut membuat tak terasa bahwa sudah hampir setahun aku mengenalnya. Doa kita untuk satu kelas di tingkat tigapun terkabul juga sehingga membuat kita semakin tambah dekat. Tapi kurasakan ternyata dengan cewek tuh susah untuk tak membicarakan tentang hal2 yang berhubungan dengan perasaan. Walaupun begitu masih bisa kuhindari untuk membicarakannya. Ketika dia mulai bercerita tentang hubungannya atau bertanya tentang kisah cintaku, aku hanya tersenyum atau mendengarkan awalnya dan langsung mengajaknya jalan untuk sekedar mencari makan atau jika ada uang lebih nonton di Bintaro Plaza. Oiya aku lupa kecuali kalo hal yg menyenangkan yang dia ceritakan aku pasti akan mendengarkannya sampai habis, walaupun terkadang ada sedikit rasa kecemburuan juga tapi aku bisa mengatasinya.
Aku tak mau menjadi orang ketiga yang merusak hubungannya sehingga waktu dia ada masalah dengan cowoknya aku hanya bisa berkata.
”kalian kan sudah dewasa, jadi bicarakanlah baik2. Jangan sampai kamu mengambil keputusan yang nanti kamu sesali akhirnya.”
Seperti malam itu, sabtu malam di bulan september yang seharusnya ceria. Marsha menelpon menyuruhku untuk datang ke kostnya sekarang juga ada yg ingin ia bagi. Yang membuatku tak kuasa untuk menolaknya adalah terdengar ia seperti terisak menangis. Saat berjalan kaki ke kostnya melewati gelapnya suasana kampus, benakku bertanya2 ada apa gerangan. Seharusnya dia bertemu dengan bimo dan ini sudah jam setengah sepuluh malam.
Sesampainya di depan teras kost, dia sudah menyiapkan secangkir hangat kopi mocca kesukaanku.
“Ada apa sha? Kok tumben malem2 nyuruh aku ke sini?”.
Dia tersenyum walaupun kurasakan sedikit dipaksakan,” minum dulu, djay. Sorry ya dah bikin kamu ngos2an ampe ke sini.”
Sebelum meminumnya, hal yang kusukai dari kopi mocca adalah menghirup uap hangat aromanya dan menggoyangkan warna coklat kental mocca tepat di bawah hidung, meniupnya sebentar dan meminumnya perlahan. Saat menikmatinya marsha tiba2 berkata,”Keliatanya aku lebih baik putus dengan bimo saja djay?”
Aku berhenti sejenak, hampir saja aku dibuat tersedak oleh minuman kesukaanku. Dengan susah payah aku menelannya bersama dengan kata2 marsha.
“lho..kok ??”
“Barusan bimo ke sini. Dia menanyakan kelanjutan hubungan kita, karena dia merasa selama ini dia merasa hambar sekali rasanya dan sudah tak ada greget lagi. Dia bukan bermaksud bahwa dia sudah bosan denganku malah katanya semakin sayang dan yakin denganku makanya dia ingin hubungan ini seperti layaknya orang dewasa menjalin hubungan percintaan. Kamu tau kan apa yg dia maksud orang dewasa itu, djay?”
Aku menggangguk,” jadi bagaimana menurutmu sebagai lelaki, menanggapi omongan bimo tadi?”
Aku langsung mengalihkan pandanganku ke cerahnya langit malam ini, bingung mau menjawab apa, lama berpikir untuk merangkai kata2 yang pas. Dan akhirnya kata2 itulah yang keluar dari mulutku.
”kalian kan sudah dewasa, jadi bicarakanlah baik2. Jangan sampai kamu mengambil keputusan yang nanti kamu sesali akhirnya.”
Dia tersenyum lagi tapi kali ini lebih lepas,”ihhh...kamu ini ya, djay. Gemes juga lama2 aku sama kamu. Pasti jawabannya itu itu mulu dari dulu kalo aku cerita tentang bimo.”
Aku hanya cengar-cengir,”habisnya bingung aku mau jawab apa. Paling susah emang kalo aku diajak ngomong soal pacaran, sha. Mending ngerjain laporan konsolidasi perusahaan masuk bursa efek. Tapi kan ada benernya juga omonganku, yang cuman bisa nyelesain kan kalian berdua.”
“iyee..iyee.”
“oiya sha, tadi aku habis download lagu dari akira jimbo satu album full. Keren. Warna musiknya beda gak seperti waktu di casiopea. Coba kamu dengerin.”
Seperti itulah gambaran ketika marsha mulai membicarakan hubungannya walaupun seberat apapun sebisa mungkin aku mengalihkan pembicaraan. Dan membuatnya kembali ceria.
“makasih ya, djay. Dah mau menemaniku malem ini”, ujarnya sambil menutup kembali pintu gerbang kost.
“oiya sha, jika bimo benar2 sayang dan serius sama kamu, seharusnya dia menjagamu sampai kamu menjadi yang sah buatnya.”
Dia tertegun mendengarnya. Ada jeda sebentar diantara kita, dia kemudian tersenyum,”nahh, itulah kata2 yang aku tunggu2 dari kamu, djay. dan itu sama dengan yang ada di benakku.”
Selama perjalanan aku terheran2 dengan omonganku tadi kok bisa keluar begitu saja. Aduhhh...bisa berabe nih urusan jadinya, ah bodo amat dah. Aku juga tak tega jika sampai marsha melakukan hal itu jika hanya demi cinta tapi belum ada ikatan pernikahan pikirku.
-------
“djay.....”
Marsha membuyarkan lamunanku.”Itu saja kok yang ingin aku katakan padamu. oiya tadi katanya ada yg kamu omongin ke aku, apa?”
“Gak jadi, sha. Yang sabar ya, aku yakin itu keputusan yang baik buatmu.”
Seperti biasa dia hanya bisa tersenyum sehingga bola mata warna coklatnya semakin berbinar indah,”pasti, djay. Selama kamu menjadi teman dekatku aku yakin dapat melalui semuanya. Sekarang aku merasa benar2 bebas dan masih banyak hal yang lebih penting lainnya menunggu.”
“iya betul, sha. Bentar lagi kan kita lulus dari kampus ini dan kita mempunyai mimpi yang sama agar mendapatkan penempatan di kota yang sama, tak apa2 kantornya beda asal masih satu kota.”
“Iya..iyaaa..”
Kurasakan genggaman tangannya semakin erat. Aku tak tahu perasaan apa ini sebenarnya hanya saja aku melihat sosok kayla dalam dirinya.