Minggu, 01 Agustus 2010

-Rasa Cinta Pertamaku-

Kemarin ketika langit sore Jakarta berpendar kelabu, ingatanku kembali menyeruak menghunus senja yang mulai memudar.

Dulu.

Aku pernah mengalami puncak percintaan yang sudah berlangsung bertahun2 yang karena sensasi rasanya dapat membuatku setia tak sabar menunggu kedatangannya. Dan ketika dia hadir menyentuh kulit tubuh. Nadir cinta mulai berdenyut membakar jiwa.

Dia adalah hujan.

Hujan yang dengan romantisnya mengunjungi senja dan melulur garis tegas antara langit dan bumi. Butiran gerimis yang gugur membasahi tanah adalah ketulusan langit pada hijau daratan dan biru lautan.

Aku ingat rasa ini bermula sebagai rasa cinta diam2 lalu berkembang seiring dengan kerinduan hitam malam memeluk putih rembulan pagi. Rasa yang konon diciptakan bagi mereka yang sibuk tidur dan melamun.

Selalu aku kira gerimis adalah anugerah yang tak mengandung apa2 kecuali kebahagiaan, lebih tepatnya: Ekstase. Aku merasakannya saat menari dengannya menyusuri jalan kecil belakang rumah diiringi alunan lembut daun yang dipermainkan oleh semilir angin.

Sebagian besar kenanganku hadir bersama hujan atau dengan wujudnya yang lain: suara katak, ricik air kali, dan pelangi di atas jembatan kereta. Itu adalah kurun ketika aku masih asyik pada diriku sendiri, seperti kura-kura yang mengalami autisme akut.

Percintaan ini selalu aku bawa kemanapun aku pergi. Karena kesetiaan hujan akan selalu hadir dalam hidupku.

Lalu tibalah hari dimana aku sadar ternyata romantisme bercinta dengan hujan adalah pengalaman lumrah yang ditemui di semua tukang lamun. Tanyakan saja pada mereka apa arti hujan. Dan mereka dengan fasihnya memberikan puisi yang berlarat-larat. Akupun merasa diriku tercabik.

Sebentuk pengkhianatan dan ketidaksetiaan kekasih yang membagi-bagi cintanya ke-milyaran manusia lain seolah dia menertawaiku, tentu saja dari belakang.

Setelah puas menghujat seluruh hujan dan tak lupa mengacungkan jari tengahku ketika dia hadir mengunjungiku. Tiga tahun yang lalu di tengah pekatnya malam, akupun mulai menertawakan kenaifan diriku. Menyadari ketamakanku memonopoli kekasih yang bisa membahagiakan serempak begitu banyak manusia.

Yang pasti, sejak saat itu, tiap kali gerimis turun waktu serasa melambat dan rona jingga menjalar tumbuh di jutaan hati manusia.

Aku mulai bertanya untuk apa ini semua?

Mungkinkah agar kita kian menghargai kehidupan dan cinta kita pada sesama?

Atau mungkinkah sekedar pengingat bahwa kehidupan pun masih terus berlangsung?

Dan jika engkau lebih tahu, bolehkah aku bertanya padamu tentang arti hujan, kawan?
Re-Created by me

Tidak ada komentar:

Posting Komentar